Senin, 14 Mei 2012

MELESTARIKAN NILAI-NILAI KEPAHLAWANAN

Oleh : Mayor Inf Ahmad Rifa’i, M.Si, 
         Kasi Pensat Pendam IV/Diponegoro

Bangsa kita setiap tanggal 10 Nopember selalu memperingati Hari Pahlawan, untuk mengenang jasa para pahlawan yang telah bersedia mengorbankan harta dan nyawanya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Sebagai generasi penerus sepatutnya kita merenungkan, menghayati dan mewarisi sifat dan semangat para pahlwan.

Dari sisi etimologi kata pahlawan berasal dari kata ”pahala dan wan”, yang berarti orang yang berhak memperoleh jasa/upah. Ketika seseorang mendapat pahala karena jasanya, ia layak disebut sebagai pahlawan. Berjasa kepada siapa? Kepada pihak yang memberinya pahala. Dari pengertian ini, kepahlawanan bersifat sangat relatif, sangat tergantung dari pihak mana yang mengganggap dia sebagai pahlawan. Sehingga tidak terlalu mengherankan apabila kemudian muncul pemberian gelar kepahlawanan kepada seseorang secara latah.

Padahal, kata pahlawan sebenarnya mengandung pengertian yang cukup luhur. Secara bahasa kata Pahlawan berarti orang atau kelompok orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran(Kamus besar Bahasa Indonesia, 1988). Pengertian ini memuat tiga aspek kepahlawanan, yakni: Keberanian, Pengorbanan dan membela kebenaran. Orang yang berani dan dengan pengorbanan sekalipun untuk membela kebenaran. Membela kebenaran, memiliki makna yang sangat relatif dan situasional. Di era perjuangan kemerdekaan dari belenggu penjajahan, segala sikap dan tindakan menentang pemerintah kolonial dianggap sebagai bentuk kepahlawanan, siapapun yang melawan, memberontak terhadap kolonial  akan disebut pahlawan. Muncullah sederet nama yang dulunya dianggap pemberontak oleh pemerintah Belanda, oleh pemerintah Republik Indonesia diberi gelar Pahlawan Nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanudin, Cut Nyak Dien, Patimura, Sultan Ageng Tirtayasa dll.

Aktifitas seorang Pahlawan juga sangat terkait dengan gerakan pembebasan. Pembebasan dari kejumudan, keterbelakangan, kebatilan, peradaban rendah, intervensi bangsa yang satu terhadap bangsa lainnya, pelanggaran terhadap hak asasi Manusia dan lain-lain. Lihatlah para Nabi dan Rasul kita telah memberikan teladan  dalam melakukan tindakan kepahlawanan, yaitu berjuang melakukan pembebasan dari segala bentuk praktek kedzaliman dan kejahiliyahan. Nabi Ibrahim AS berjuang membebaskan masyarakat dari belenggu tuhan-tuhan palsu. Nabi Musa AS berjuang membebaskan bangsa Yahudi dari kediktatoran Fir’aun. Demikian pula Nabi Muhammad SAW, berjuang membebaskan masyarakat dari jahiliah, perbudakan menuju masyarakat yang berperadaban.

Dalam konteks ini, perjuangan anak bangsa untuk membebaskan negeri ini dari belenggu penjajahan sangatlah layak jika diapresiasi sebagai Pahlawan, karena melakukan pembebasan bangsanya  atas tindakan bangsa lain. Pada era masa kini peluang untuk menjadi Pahlawan masih terbuka, bahkan jauh lebih luas. Namun tentu saja, bentuk perjuangannya sangat berbeda. Jika di era pasca perang Dunia II kepahlawanan diwujudkan lewat perjuangan fisik melawan penjajah, maka di era kini kepahlawanan bisa dilakukan dengan membangun tatanan masyarakat yang lebih beradab, setara dalam segala hal, hidup damai dalam pergaulan, baik antar pribadi, kelompok maupun antar bangsa.

Disadari atau tidak   bentuk penjajahan yang terjadi sekarang  jauh lebih komplek dan rumit. Contoh dari sisi ekonomi, bangsa kita telah terjebak oleh ekonomi kapitalis sehingga hanya sebagian masyarakat yang ikut merasakan kesejahteraan, sementara kemiskinan semakin meluas dan bertambah parah. Dari sisi Pendidikan, biaya pendidikan semakin mahal, sehingga kesempatan untuk melanjutkan pendidikan sampai ke tingkat perguruan tinggi hanya bisa dinikmati oleh orang yang mempunyai kemampuan finansial yang tinggi pula. Dari sisi Sosial Budaya, terutama di kalangan generasi muda  pelajar dan Mahasiswa. Generasi muda adalah tulang punggung bangsa, yang diharapkan di masa depan mampu meneruskan tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini agar lebih baik.

Dalam mempersiapkan generasi muda juga sangat tergantung kepada kesiapan masyarakat yakni dengan keberadaan budayanya. Termasuk pentingnya memberikan filter tentang perilaku-perilaku  negative seperti : minuman keras, mengkonsumsi Narkoba, sex bebas, dan lain-lain. Pada saat ini, kebebasan bergaul sudah sampai pada tingkat yang menghawatirkan. Kita sering menemukan para remaja saling berangkulan mesra di tempat umum tanpa rasa malu. Mereka pacaran sejak awal masa remaja. Pacar, bagi mereka, adalah gengsi atau harga diri. Akibatnya, di kalangan remaja terjadi persaingan untuk mendapatkan pacar.   Televisi, tabloid dan majalah  seakan jadi ajang pamer aurat dan lebih banyak menyuguhkan tayangan yang benilai negatif. Dari sisi kemanusiaan, konflik bernuansa SARA masih terjadi diberbagai tempat dan merupakan  bahaya laten kapan saja bisa meledak. Apalagi, jika tidak dikelola dengan baik atau sengaja dijadikan komoditas politik. Tanpa kedewasaan dalam berdemokrasi, apa saja bisa terjadi, termasuk mengekploitasi sentimen SARA untuk kepentingan kelompoknya, dan masih banyak bentuk lainnya.

 Berbagai permasalahan diatas membutuhkan para pejuang dalam bentuk baru untuk mengatasinya, atau pahlawan-pahlawan yang tidak lagi mengangkat senjata, tidak harus berhadapan secara fisik, tidak semata-mata tampak dan  kasatmata. Mereka adalah orang-orang yang memiliki niat yang tulus dan ikhlas serta tanpa pamrih untuk berjuang demi kepentingan kemanusiaan, masyarakat, bangsa dan Negara. Siapa saja bisa menjadi pahlawan sejati sesuai dengan peran dan profesi masing-masing. Mari kita semua bertekad untuk melestarikan nilai-nilai kepahlawanan sehingga spirit peringatan Hari Pahlawan benar-benar memiliki arti dan tertanam dalam sanubari kita untuk berbuat dan bertindak yang terbaik sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para Pahlawan. (Ahmad Rifa’i, M.Si,  Kasi Pensat Pendam IV/Diponegoro)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar