Oleh : Mayor Inf Ahmad Rifa’i, M.Si,
Kasi Pensat Pendam IV/Diponegoro
Bangsa
kita setiap tanggal 10 Nopember selalu memperingati Hari Pahlawan,
untuk mengenang jasa para pahlawan yang telah bersedia mengorbankan
harta dan nyawanya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan
Republik Indonesia. Sebagai generasi penerus sepatutnya kita
merenungkan, menghayati dan mewarisi sifat dan semangat para pahlwan.
Dari
sisi etimologi kata pahlawan berasal dari kata ”pahala dan wan”, yang
berarti orang yang berhak memperoleh jasa/upah. Ketika seseorang
mendapat pahala karena jasanya, ia layak disebut sebagai pahlawan.
Berjasa kepada siapa? Kepada pihak yang memberinya pahala. Dari
pengertian ini, kepahlawanan bersifat sangat relatif, sangat tergantung
dari pihak mana yang mengganggap dia sebagai pahlawan. Sehingga tidak
terlalu mengherankan apabila kemudian muncul pemberian gelar
kepahlawanan kepada seseorang secara latah.
Padahal, kata
pahlawan sebenarnya mengandung pengertian yang cukup luhur. Secara
bahasa kata Pahlawan berarti orang atau kelompok orang yang menonjol
karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran(Kamus besar
Bahasa Indonesia, 1988). Pengertian ini memuat tiga aspek kepahlawanan,
yakni: Keberanian, Pengorbanan dan membela kebenaran. Orang yang berani
dan dengan pengorbanan sekalipun untuk membela kebenaran. Membela
kebenaran, memiliki makna yang sangat relatif dan situasional. Di era
perjuangan kemerdekaan dari belenggu penjajahan, segala sikap dan
tindakan menentang pemerintah kolonial dianggap sebagai bentuk
kepahlawanan, siapapun yang melawan, memberontak terhadap kolonial akan
disebut pahlawan. Muncullah sederet nama yang dulunya dianggap
pemberontak oleh pemerintah Belanda, oleh pemerintah Republik Indonesia
diberi gelar Pahlawan Nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan
Hasanudin, Cut Nyak Dien, Patimura, Sultan Ageng Tirtayasa dll.
Aktifitas
seorang Pahlawan juga sangat terkait dengan gerakan pembebasan.
Pembebasan dari kejumudan, keterbelakangan, kebatilan, peradaban rendah,
intervensi bangsa yang satu terhadap bangsa lainnya, pelanggaran
terhadap hak asasi Manusia dan lain-lain. Lihatlah para Nabi dan Rasul
kita telah memberikan teladan dalam melakukan tindakan kepahlawanan,
yaitu berjuang melakukan pembebasan dari segala bentuk praktek
kedzaliman dan kejahiliyahan. Nabi Ibrahim AS berjuang membebaskan
masyarakat dari belenggu tuhan-tuhan palsu. Nabi Musa AS berjuang
membebaskan bangsa Yahudi dari kediktatoran Fir’aun. Demikian pula Nabi
Muhammad SAW, berjuang membebaskan masyarakat dari jahiliah, perbudakan
menuju masyarakat yang berperadaban.
Dalam konteks ini,
perjuangan anak bangsa untuk membebaskan negeri ini dari belenggu
penjajahan sangatlah layak jika diapresiasi sebagai Pahlawan, karena
melakukan pembebasan bangsanya atas tindakan bangsa lain. Pada era masa
kini peluang untuk menjadi Pahlawan masih terbuka, bahkan jauh lebih
luas. Namun tentu saja, bentuk perjuangannya sangat berbeda. Jika di era
pasca perang Dunia II kepahlawanan diwujudkan lewat perjuangan fisik
melawan penjajah, maka di era kini kepahlawanan bisa dilakukan dengan
membangun tatanan masyarakat yang lebih beradab, setara dalam segala
hal, hidup damai dalam pergaulan, baik antar pribadi, kelompok maupun
antar bangsa.
Disadari atau tidak bentuk penjajahan yang
terjadi sekarang jauh lebih komplek dan rumit. Contoh dari sisi
ekonomi, bangsa kita telah terjebak oleh ekonomi kapitalis sehingga
hanya sebagian masyarakat yang ikut merasakan kesejahteraan, sementara
kemiskinan semakin meluas dan bertambah parah. Dari sisi Pendidikan,
biaya pendidikan semakin mahal, sehingga kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan sampai ke tingkat perguruan tinggi hanya bisa dinikmati oleh
orang yang mempunyai kemampuan finansial yang tinggi pula. Dari sisi
Sosial Budaya, terutama di kalangan generasi muda pelajar dan
Mahasiswa. Generasi muda adalah tulang punggung bangsa, yang diharapkan
di masa depan mampu meneruskan tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini
agar lebih baik.
Dalam mempersiapkan generasi muda juga sangat
tergantung kepada kesiapan masyarakat yakni dengan keberadaan budayanya.
Termasuk pentingnya memberikan filter tentang perilaku-perilaku
negative seperti : minuman keras, mengkonsumsi Narkoba, sex bebas, dan
lain-lain. Pada saat ini, kebebasan bergaul sudah sampai pada tingkat
yang menghawatirkan. Kita sering menemukan para remaja saling
berangkulan mesra di tempat umum tanpa rasa malu. Mereka pacaran sejak
awal masa remaja. Pacar, bagi mereka, adalah gengsi atau harga diri.
Akibatnya, di kalangan remaja terjadi persaingan untuk mendapatkan
pacar. Televisi, tabloid dan majalah seakan jadi ajang pamer aurat
dan lebih banyak menyuguhkan tayangan yang benilai negatif. Dari sisi
kemanusiaan, konflik bernuansa SARA masih terjadi diberbagai tempat dan
merupakan bahaya laten kapan saja bisa meledak. Apalagi, jika tidak
dikelola dengan baik atau sengaja dijadikan komoditas politik. Tanpa
kedewasaan dalam berdemokrasi, apa saja bisa terjadi, termasuk
mengekploitasi sentimen SARA untuk kepentingan kelompoknya, dan masih
banyak bentuk lainnya.
Berbagai permasalahan diatas membutuhkan
para pejuang dalam bentuk baru untuk mengatasinya, atau
pahlawan-pahlawan yang tidak lagi mengangkat senjata, tidak harus
berhadapan secara fisik, tidak semata-mata tampak dan kasatmata. Mereka
adalah orang-orang yang memiliki niat yang tulus dan ikhlas serta tanpa
pamrih untuk berjuang demi kepentingan kemanusiaan, masyarakat, bangsa
dan Negara. Siapa saja bisa menjadi pahlawan sejati sesuai dengan peran
dan profesi masing-masing. Mari kita semua bertekad untuk melestarikan
nilai-nilai kepahlawanan sehingga spirit peringatan Hari Pahlawan
benar-benar memiliki arti dan tertanam dalam sanubari kita untuk berbuat
dan bertindak yang terbaik sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para
Pahlawan. (Ahmad Rifa’i, M.Si, Kasi Pensat Pendam IV/Diponegoro)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar